padakeadaan jenuh uap air (awan) terendah (lembah air surut) yang berurutan. itu akan menjadi bintik-bintik air yang periode pasang surut adalah waktu yang selanjutnya akan turun (precipitation) diperlukan dari posisi muka air pada 12 jam 25 dalam bentuk hujan, salju, es. menit atau 24 jam 50 menit, yang tergantung infiltrasi / perkolasi ke 0% found this document useful 0 votes338 views1 pageOriginal TitleTabel pasang surut air laut tahun 2021 dan tabel solunar Tandjungpinang Bintan Island untuk merencanakan hari memancing Anda_Copyright© © All Rights ReservedShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes338 views1 pageTabel Pasang Surut Air Laut Tahun 2021 Dan Tabel Solunar Tandjungpinang Bintan Island Untuk Merencanakan Hari Memancing AndaOriginal TitleTabel pasang surut air laut tahun 2021 dan tabel solunar Tandjungpinang Bintan Island untuk merencanakan hari memancing Anda_Jump to Page You are on page 1of 1Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel the full document with a free trial!
1KARAKTERISTIK PASANG SURUT DI DELTA MAHAKAM (STUDI KASUS DI BEKAPAI DAN TUNU) Maraya Syifa Widyastuti 1, Nining Sari Ningsih 1, Rhyan Risnadi 2 1 Program Studi Oseanografi, FITB, Institut Teknologi Bandung. Jl. Ganesha 10 Bandung, Total E&P Indonesie. Jl. Yos Sudarso,Balikpapan ABSTRAK Pasang surut (pasut) adalah fenomena naik turunnya permukaan air laut yang disebabkan oleh adanya gravitasi
ArticlePDF AvailableAbstractPenelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai etnosains dalam aktivitas menyondong dan berkarang. Menyondong adalah kegiatan menangkap ikan dan hasil laut lain dengan menggunakan tangguk besar. Menyondong biasanya dilakukan di sore hari sampai maghrib dengan berjalan di air dangkal di sepanjang garis pantai. Berkarang adalah kegiatan mengumpulkan hasil-hasil laut yang tertinggal di daerah pasang-surut pada saat keadaan surut. Dua kegiatan ini adalah kegiatan yang sering dilakukan di kalangan masyarakat pesisir di Pulau Bintan. Kegiatan ini memiliki nilai ekonomi dan budaya serta berpotensi memiliki kandungan nilai etnosains. Studi etnografi ini dilakukan melalui rangkaian pengamatan di beberapa tempat menyondong dan berkarang yang populer. Data tambahan diperoleh melalui wawancara. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai etnosains dalam aktivitas berkarang dan menyondong ikan. Nilai etnosains yang teridentifikasi antara lain dalam bentuk nama dan pengetahuan lokal terhadap hasil-hasil laut, dalam bentuk prosedur pelaksanaan aktivitas untuk meningkatkan hasil tangkapan, dan pemahaman akan pilihan waktu pelaksanaan yang disesuaikan dengan pasang-surut air laut. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. J. Pedagogi Hayati Vol. 3 Irawan, B. & Muhartati, E. 2019 ©Program Studi pendidikan Biologi FKIP Universitas Maritim Raja Ali Haji ISSN 2503-0752 e-ISSN 2579-4132 1 Identifikasi Nilai Etnosains pada Kearifan Lokal Berkarang dan Menyondong Ikan Pada Masyarakat Pesisir Bintan Bony Irawan1*, Erda Muhartati2, 1,2, Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Indonesia Pengiriman 3 Oktober 2019; Diterima 20 Oktober 2019; Publikasi Oktober 2019 ABSTRACT This studi aimed to identify ethnoscience value contained in traditional activity of coastal society in Bintan called menyondong and berkarang. Menyondong is an activity to catch fish and sea produces by using handheld net tangguk. Menyondong is usually performed late at afternoon until dusk or maghrib by walking in the shallow water along a parallel line to the coastline. Berkarang is an activity to collect the sea produces stranded in the intertidal area during the time of low tide. Both activity has an economic value as well as as ethnoscience value behind it. This ethnographic study is conducted through series of observations in popular spots for berkarang. Additional data were acquired through interviews. The study concluded that there are ethnoscience values contained in menyondong and berkarang, such as local names and understandings about the species collected, in the form of procedures followed in these activities, and in the knowledge timing to conduct the activities. Keywords Ethnoscience,Local Wisdom, Menyondong, Berkarang, Bintan, ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai etnosains dalam aktivitas menyondong dan berkarang. Menyondong adalah kegiatan menangkap ikan dan hasil laut lain dengan menggunakan tangguk besar. Menyondong biasanya dilakukan di sore hari sampai maghrib dengan berjalan di air dangkal di sepanjang garis pantai. Berkarang adalah kegiatan mengumpulkan hasil-hasil laut yang tertinggal di daerah pasang-surut pada saat keadaan surut. Dua kegiatan ini adalah kegiatan yang sering dilakukan di kalangan masyarakat pesisir di Pulau Bintan. Kegiatan ini memiliki nilai ekonomi dan budaya serta berpotensi memiliki kandungan nilai etnosains. Studi etnografi ini dilakukan melalui rangkaian pengamatan di beberapa tempat menyondong dan berkarang yang populer. Data tambahan diperoleh melalui wawancara. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai etnosains dalam aktivitas berkarang dan menyondong ikan. Nilai etnosains yang teridentifikasi antara lain dalam bentuk nama dan pengetahuan lokal terhadap hasil-hasil laut, dalam bentuk prosedur pelaksanaan aktivitas untuk meningkatkan hasil tangkapan, dan pemahaman akan pilihan waktu pelaksanaan yang disesuaikan dengan pasang-surut air laut. Kata Kunci Etnosains, kearifan lokal, menyondong, berkarang, bintan. *Penulis Korespondensi Alamat surel bony J. Pedagogi Hayati Vol. 3 Irawan, B. & Muhartati, E. 2019 ©Program Studi pendidikan Biologi FKIP Universitas Maritim Raja Ali Haji ISSN 2503-0752 e-ISSN 2579-4132 2 PENDAHULUAN Kata ethnoscience etnosains bersasal dari kata ethnos bahasa Yunani yang berarti bangsa, dan scientia bahasa Latin artinya sebab itu, etnosains merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas ilmu ini mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif budaya pada pengetahuan asli dan khas dari suatu komunitas budaya. Menurut Henrietta L. 1998 etnosains adalah cabang pengkajian budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam mereka. Pribumi biasanya memiliki ideologi dan falsafah hidup yang mempengaruhi mereka mempertahankan hidup. Atas dasar ini, dapat dinyatakan bahwa etnosains merupakan salah satu bentuk etnografi baru the new ethnography. Pada studi tentang tingkat literasi kelautan siswa dan mahasiwa di Kepulauan Riau pada 2017, ditemukan bahwa tingkat literasi kelautan siswa dan mahasiswa berada pada kategori sangat rendah Irawan, 2017. Hal ini mengejutkan karena hampir sebagian besar responden penelitian tersebut berasal dari daerah kepulauan. Analisis lebih lanjut menunjukkan hal ini disebabkan oleh kurangnya konten kelautan dalam mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Hasil observasi menunjukkan bahwa guru kesulitan mengembangkan pembelajaran yang memiliki tema dan muatan kelautan. Kesulitan ini disebabkan tidak adanya panduan bagi guru untuk menyusun indikator dan materi pembelajaran bertema kelautan di dalam naskah kurikulum. Keadaan ini mengkhawatirkan karena dapat menghambat keberhasilan pembangunan kemaritiman nasional yang memerlukan warga negara dengan literasi kelautan yang baik. Salah satu tujuan dalam roadmap penelitian penulis adalah merumuskan framework literasi kelautan yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan pembelajaran di sekolah Irawan, 2018. Melalui framework ini, penulis ingin berkontribusi terhadap keberhasilan pembangunan kemaritiman nasional dengan mempersiapkan lulusan sekolah menengah yang ocean literated. Framework yang dikembangkan ini dapat dipandang sebagai silent curriculum yang dalam pengembangannya memerlukan beberapa input pertimbangan. Antara lain existing body of knowledge kontemporer terkait topik yang dibahas, serta sentuhan kearifan lokal dan identitas core value bangsa Indonesia sendiri. Kesadaran akan pentingnya menemukan kembali nilai-nilai kearifan lokal dan merevitalisasinya melalui proses pendidikan adalah trend yang bermula di Jepang. Indonesia juga sebuah bangsa yang kaya akan nilai luhur dan kearifan lokal yang harus dihayati dan dilestarikan. Kemajuan IPTEK tidak lantas harus membuat bangsa Indonesia menjadi miskin identitas atau kehilangan jati diri. Banyak suku bangsa di nusantara yang telah memiliki peradaban panjang menunggu untuk digali dan direvitalisasi. Terkait bidang kemaritiman dan kelautan, komunitas melayu Kepulauan Riau adalah salah satunya. Oleh karena itu, pada fase ini, dirancang sebuah penelitian etnografi dengan tujuan untuk mengungkap dan mendokumentasikan kearifan lokal dan etnosains masyarakat melayu Kepulauan Riau. Masyarakat melayu Kepulauan Riau adalah komunitas maritim sejati yang telah hidup berabad-abad berdampingan dengan laut. Begitu banyak pengetahuan, teknik, alat, dan ajaran terkait laut yang bisa digali dan direvitalisasi dari komunitas ini. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, peneliti merancang sebuah penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi untuk menggali kearifan lokal dan etnosains masyarakat melayu Kepulauan Riau. Hasil dokumentasi penelitian ini nanti dapat menjadi sumbangan tersendiri bagi kajian etnografi melayu serta manjadi masukan yang penting dalam menyempurnakan framework literasi kelautan yang penulis kembangkan dalam roadmap J. Pedagogi Hayati Vol. 3 Irawan, B. & Muhartati, E. 2019 ©Program Studi pendidikan Biologi FKIP Universitas Maritim Raja Ali Haji ISSN 2503-0752 e-ISSN 2579-4132 3 penelitian. Framework ini esensial bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran bertema kelautan dan kemaritiman di sekolah. Melalui etnosains, sebenarnya peneliti budaya justru akan mampu membangun teori yang grass root dan tidak harus mengadopsi teori budaya barat yang belum tentu relevan. Penelitian etnosains terhadap fenomena budaya selalu berbasis etno dan atau etnosains, menurut Spradley2001 memang akan memberi angin segar pada penelitian budaya. Meskipun hal demikian bukan hal yang baru, karena sebelumnya telah mengenal verstehen pemahaman, namun tetap memberi wajah baru bagi penelitian karena, memang banyak peneliti budaya yang secara sistematis memanfaatkan kajian belum ada kesamaan pendapat mengenai istilah etnosains dikalangan peneliti ini ada yang menyebut cognitif anthropology, ethnographic semantics, dan descriptive semantics Spradley, 2001.Berbagai istilah ini muncul karena masing-masing ahli memberikan penekanan berbeda, namun hakikatnya adalah ingin mencari tingkat ilmiah kajian budaya. Setiap masyarakat mengalami pertumbuhan dan perkembangan akibat kebutuhan yang berubah dari zaman ke perkembangan itu terjadi berbagai proses pemecahan masalah demi kehidupan yang lebih baik dan sejahtera melalui teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tak lepas dari dampak positif dan negative. Di satu sisi penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan berbagai inovasi untuk meninkatkan kesejahteran hidup manusia, namun di sisi lainpenerapan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah mengeksploitasi kekayaan alam untuk mengejar produksi tanpa mempertimbangkan kelangsungan hidup jangka panjang seperti yang terjadi pada dampak rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan berbagai bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir, kebakaran hutan, polusi udara yang kesemuanya hanya menghasilkan kesengsaraan rakyat banyak. Lingkungan, baik fisik maupun sosial-budaya dapat memberikan kontribusi tertentu pada pengalaman belajar tersebut dapat berupa pola pikir ranah kognitif, pola sikap ranah afektif, maupun pola perilaku ranah psikomotorik.Solomon dalam Baker, et al, 1995 menyatakan konsep-konsep sains yang dikembangkan di sekoiah tidak berjalan mulus karena dipengaruhi kuat oleh faktor-faktor sosial, khususnya pengetahuan intuitif tentang dunia lingkungannya life-word. Pengetahuan tersebut dibangun selama siswa masih kanak-kanak yang disosialisasikan dan dienkulturisasi oleh orang lain seperti orang tua dan teman sebaya. Ogawa 2002 menyatakan salah satu sains intuitif adalah sains sosial atau budaya culture or social science atau disebut juga dengan sains asli indigenous science. Snively & Corsiglia 2001 6 menyatakan bahwa sains asli berkaitan dengan pengetahuan sains yang diperolehnya melalui budaya oral di tempat yang sudah lama ditempatinya. Pengetahuan ini sudah merupakan bagian budaya mereka yang diperoleh dari pandangannya tentang alam semesta yang relatif diyakini oleh komunitas masyarakat sampai saat ini sains asli yang merupakan subbudaya dari kelompok masyarakat, kurang disadari dan kurang mendapat perhatian dari para pakar pendidikan sains maupun guru-guru sains di Indonesia. Baker, et al 1995 menyatakan, bahwa jika pembelajaran sains di sekolah tidak memperhatikan budaya anak, maka konsekuensinya siswa akan menolak atau menerima hanya sebagian konsep-konsep sains yang dikembangkan dalam pcmbelajaran. Stanley & Brickhouse 2001 menyarankan agar pembelajaran sains di sekolah menyeimbangkan antara sains Barat sa ins normal, sains yang dipelajari dalam kelas dengan sains asli sains tradisional dengan menggunakan pendekatan lintas budaya cross-culture. Pendapat senada juga J. Pedagogi Hayati Vol. 3 Irawan, B. & Muhartati, E. 2019 ©Program Studi pendidikan Biologi FKIP Universitas Maritim Raja Ali Haji ISSN 2503-0752 e-ISSN 2579-4132 4 dikemukakan oleh Cobern dan Aikenhead 1996 4, yang menyatakan jika subkultur sains modern yang diajarkan di sekolah harmonis dengan subkultur kehidupan sehari-hari siswa, pengajaran sains akan berkecenderungan memperkuat pandangan siswa tentang alam semesta, dan hasilnya adalah enculturation. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian etnografi dengan tujuan untuk menginventarisasi dan mendokumentasikan kearifan lokal dan etnosains masyarakat melayu Kepulauan Riau yang berhubungan dengan laut. Metode yang dilakukan mengadopsi pendekatan naturalistik dimana peneliti sebagai observer turun langsung membaur dengan komunitas yang menjadi subjek penelitian. Menurut Fraenkel dan Wallen 2009, metode ini memungkinkan observer untuk memperoleh gambaran yang paling nyata terhadap sasaran yang ingin diamati. Dengan pendekatan naturalistik, penghalang antara observer dengan subjek penelitian dapat dihilangkan sehingga mengurangi bias dan unnatural occurance pada set pengamatan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik in-depth interview, observasi, dan dokumentasi. Instrumen yang digunakan adalah panduan wawancara, inventori prediksi etnosains, lembar observasi, serta catatan anekdot. Instrumen tersebut dirancang untuk menghimpun data dari semua aspek yang potensial terkait keberadaan etnosains dan kearifan lokal komunitas masyarakat yang diamati. Subjek penelitian adalah komunitas masyarakat yang hidup di pesisir Pulau Bintan, Data mentah yang terkumpul kemudian ditransliterasi menjadi bentuk tertulis yang dapat disajikan secara ilmiah. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Nilai Etnosains dalam Kegiatan Berkarang Aktifitas berkarang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat pesisir. Baik yang berprofesi asli sebagai nelayan, maupun anggota masyrakat lain yang datang berkarang sekadar untuk kegiatan rekreasional. Apapun motivasi awalnya, berkarang tetap memberikan nilai ekonomi bagi pelakunya. Sehingga berkarang menjadi kegiatan yang populer di masyarakat Bintan. Berkarang biasanya dilakukan pada sore hari atau di pagi hari pada saat keadaan laut surut. Hal ini terkait dengan tipe pasang surut di perairan Kepulauan Riau yang bertipe diurnal Irawan, 2016. Pada saat keadaan surut, berbagai biota laut akan terdampar pada daerah intertidal, antara lain ikan, kepiting, udang, teripang, timun laut, bintang laut, dll. Spesies yang terdampar inilah yang menjadi target berkarang oleh masyarakat. Hasil dari berkarang dapat dimakan sendiri atau dijual. Berdasarkan observasi dan wawancara dapat dirumuskan beberapa nilai etnosains dalam kegiatan berkarang, disajikan dalam poin-poin sebagai berikut 1. Pengetahuan tentang waktu pasang dan surut lokal Kegiatan berkarang hanya dapat dilakukan pada saat laut dalam keadaan surut. Sebagian besar masyarakat yang berkarang memiliki pengetahuan tentang jadwal pasang surut harian di lokasi pantai tempat mereka berkarang. Mereka dapat memperkirakan waktu pasang dan surut yang pas untuk kegiatan berkarang yang biasa dilakukan saat pagi dan sore hari. Mereka juga memahami pergeseran waktu pasang dan surut tergantung posisi bulan yang dihitung berdasarkan penanggalan hijriah. J. Pedagogi Hayati Vol. 3 Irawan, B. & Muhartati, E. 2019 ©Program Studi pendidikan Biologi FKIP Universitas Maritim Raja Ali Haji ISSN 2503-0752 e-ISSN 2579-4132 5 2. Pengetahuan dalam bentuk nama lokal spesies laut hasil tangkapan Masyarakat yang sering turun berkarang memiliki pengetahuan lokal tentang biota-biota laut hasil tangkapan mereka. Mereka memiliki nama daerah yang khas untuk berbagai spesies yang sering dijumpai. 3. Pengetahuan umum tentang spesies-spesies yang sering dijumpai. Pada saat surut, banyak sekali biota laut yang tertinggal di daerah intertidal. Diantara banyak banyak biota laut tersebut, ada yang bernilai ekonomi, dapat dijadikan bahan pangan, ada juga yang tidak bermanfaat untuk dipungut. Bahkan ada juga spesies yang berbahaya seperti lepu, ubur-ubur api, kerong tekstil, dll. Masyarakat yang sering turun berkarang memiliki wawasan tentang hal-hal tersebut. Mereka telah memahami spesies mana yang boleh diambil, dan spesies mana yang tidak layak diambil, bahkan mengetahui spesies yang tidak boleh disentuh. Tidak jarang dalam berkarang masyarakat membawa serta anak-anak mereka. Dalam kondisi ini, berkarang juga memiliki nilai edukasi dan pewarisan pengetahuan lokal dari generasi ke generasi. B. Nilai Etnosains dalam Kegiatan Menyondong Ikan Menyondong adalah kegiatan menangkap hasil laut dengan menggunakan tangguk besar sambil berjalan di air dangkal di sepanjang garis pantai. Menyondong adalah kegiatan yang lebih mengarah pada motif ekonomi, karena hanya dilakukan oleh warga yang berprofesi sebagai nelayan dan menggunakan peralatan dan teknik khusus. Menyondong ikan biasanya dilakukan di sore hari sampai matahari terbenam. Aktivitas menyondong sarat akan muatan etnosains. Berikut adalah beberapa poin yang dirumuskan sebagai hasil dari penelitian ini 1. Peralatan tangguk yang digunakan Menyondong ikan dilakukan dengan menggunakan tangguk besar yang bingkainya terbuat dari kayu atau rotan. Pada bingkai ini dipasang jaring. Radius tangguk bisa mencapai sampai dengan 2m. Tangguk ini dipilih untuk memaksimalkan hasil tangkapan dan tetap bisa digunakan sambil berjalan. 2. Pemilihan waktu menyondong Menyondong dilakukan pada sore hari sampai matahari terbenam sebagai aktifitas ekonomi tambahan masyarakat pesisir. Waktu sore juga dipilih karena target tangkapan banyak berada di perairan dangkal. Sehingga hasil tangkapan menjadi lebih banyak. Hal ini sesuai dengan aktivitas dan migrasi harian hewan laut Niyabkken, 2003. Hal ini menunjukkan pengetahuan masyarakat terhadap keadaan laut disekitarnya. 3. Pemilihan lokasi menyondong Menyondong cocok dilakukan pada pantai yang landai dan tidak memiliki banyak kontur karang. Substrat dalam bentuk lumpur atau pasir berlumpur juga lebih disukai oleh para penyondong. Hal ini sesuai dengan keadan beberapa pantai di pesisir Bintan yang memiliki substrat lumpur dan pasir berlumpur Irawan, 2016. Dalam hal ini penyondong memilih lokasi menyondong sesuai pengetahuan mereka terhadap keadaan pantai di sekitar mereka KESIMPULAN DAN SARAN Masyarakat Bintan memiliki banyak kearifan lokal dan etnosains yang menarik untuk dikaji secara ilmiah. Aktivitas berkarang dan menyondong memiliki kandungan nilai etnosains yang dapat dihubungkan dengan sains biologi modern. Aktivitas ini selain bernilai ekonomi juga memiliki nilai rekreasional dan edukasi bagi anggota keluarga. J. Pedagogi Hayati Vol. 3 Irawan, B. & Muhartati, E. 2019 ©Program Studi pendidikan Biologi FKIP Universitas Maritim Raja Ali Haji ISSN 2503-0752 e-ISSN 2579-4132 6 UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terselenggara atas pembiayaan hibah penelitian dosen pemula PDP yang diberikan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat DRPM Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Penulis menyampaikan terima kasih atas dukungan yang diberikan. DAFTAR PUSTAKA Aikenhead, G & Jegede 1999. Cross-Cultural Science Education A Cognitive Explanation of a Cultural Phenomenon. Joumal of Research in Science Teaching. Vol 36, pp. 269-287. Anderson dan Krathwol, 2010. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing A revision of Bloom’s Taxonomy of Education Objectives. New York Addison Wesley Longman Arifin, Zainal. dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung Remaja Rosdakarya BPS. 2018. Demografi Provinsi Kepulauan Riau. Diakses 29 Juli 2018. Chou, Cynthia. 2008. Research Trends on Southeast Asian Sea Nomads . Indonesian Circle 67 Nov 2008 Cobern, 1996. Cultural Aspects of Learning Working paper 2002 Henrietta L. Moore, 1998. Feminisme Dan Antropologi Penerjemah Tim Proyek Studi Jender dan Pembangunan FISIP UI. Jakarta Penerbit Obor. Ifediora et. al., 2017. Perception and Patronage of Foreign Value in Developin Countries. International Journal of Economics and Management Vol. V Issue 12 2017. UK Irawan. Bony. 2018. Framework Literasi Kelautan Sebagai Acuan Pembelajaran Sains di Negara Maritim. Pedagogi ahayati, Vol 2 No 1 Tahun 2018. DOI Irawan, Bony. 2017. Profil Literasi Kelautan Mahasiswa Kepulauan Riau. Jurnal KIPRAH Vol VI. No. 1 2017. UMRAH Press. Irawan, Bony. 2016. Buku Ajar Biologi Laut. Tanjungpinang UMRAH Press Moore, Henrietta L., 1998. Feminisme Dan Antropologi Penerjemah Tim Proyek Studi Jender dan Pembangunan FISIP UI. Jakarta Penerbit Obor. Malik, A. 2017. Indeks Budi Pekerti Pribadi Dalam Karya Raja Ali Haji. Jurnal KIPRAH Vol 5. Tahun 2017. Indonesia. Marnelly, Romi T., 2017. The Local Wisdom of Malay Society of Coastal Area in Using Natural Resource. Proceeding, AASIC Conference 2017 OECD. 2016. “PISA Programme for International Assessment.” Diakses pada 10 Agustus 2018 Ogawa,M. 2002. Science as the Culture of Scientist How to Cope with Scientism Stanley, Brickhouse. 2001. The Multicultural Question Revisited. Science 85 I. Zais, Robert. S. 2008. Curriculum Principles and Foundations . New York Harper and Row Publisher ... Lalu ilmu ini mengkaji atau menelaah sistem pengetahuan serta tipe-tipe kognitif budaya eksklusif. Fokus pada pengetahuan orisinal serta spesial dari suatu komunitas budaya Irawan & Muhartati, 2019. Dalam aktivitas pembelajaran etnosains diharapkan peserta didik bisa melakukan observasi, diskusi, presentasi dan praktikum. ...Vany SinthyaSyelvina SafitriSuripahPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan sikap sosial yang terdiri dari kejujuran, disiplin, tanggung jawab, dan toleransi di sekolah dasar Kabupaten Karanganyar, Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan desain studi kasus. Delapan informan yang direkrut terdiri dari guru dan siswa. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Data dianalisis dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Teknik penilaian untuk memeriksa keabsahan data adalah triangulasi teknis dan triangulasi sumber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1 Sebagian besar guru belum mengamati aktivitas siswa di dalam dan di luar kelas setiap hari. 2 Beberapa guru mencatat setiap hari, beberapa lainnya secara kebetulan. Indikator didapat dari kombinasi pedoman resmi dan mereka sendiri. 3 Semua guru paling tidak menilai dua dimensi disiplin dan kejujuran, yang lain sama sekali diabaikan. Semua guru setidaknya menggunakan dua teknik. 4 Guru menindaklanjuti penilaian dengan menginformasikan siswa secara berkala triwulanan dan memberikan pujian atau nasihat. Implikasi dari penelitian ini adalah Pertama, kepala sekolah dasar di Indonesia harus memperkaya pengetahuan dan wawasan guru terkait penilaian sikap sosial. Kedua, pemerintah dengan dukungan peneliti harus merancang sistem penilaian yang sangat baik untuk mengatasi keterbatasan waktu.... Education and socio-culture have a positive correspondence that must be realized in learning for generations of the nation Trianto., 2014. Socio-cultural can generate certain contributions to the student's learning experience both on cognitive, appective, and psychomotor aspects Irawan & Muhartati, 2019. Hadi et al., 2019 states that sociocultural diversity in Indonesia can be optimized to support student learning in schools. ...The aims of this study were to explore the perceptions of prospective science teachers towards ethnoscience studies in the songket cloth motif of the sasak tribe. This exploratory research conducted in three education study programs namely Biology, Chemistry, and Physics Education with 53 prospective science teachers involved as research subject. Closed questionnaire with likert scale and expertly validated applied for data collection. The data were analyzed by quantitative descriptive statistics, Anova test and t-test inferential statistics. The results showed that 1 perception of prospective science teachers has an average score in the "Good" category in terms of gender, regional origin, and study program; 2 there were no significant differences in the perceptions in male and female prospective science teacher based on t-test significance value of 0,455 > 0,05; 3 there were no significant difference in prospective science teacher’s perception refer to origin native Lombok and non-native based on t test significance value of 0,466 > 0,05; 4 there were no significant difference in the perception of prospective science teachers in the biology, chemistry, and physics education study program based on Anova's significance value of 0,423 > 0,05.... Upaya yang dilakukan masyarakat setempat biasanya memiliki ideologi dan falsafah hidup yang mempengaruhi mereka dalam mempertahankan hidup. Pemahaman masyarakat setempat tentang kaitan tradisi Badantam dengan teori etnosains sesuai dengan yang dikatakan oleh Henrietta L bahwa etnosains adalah cabang pengkajian budaya yang berusaha memahami bagaimana masyarakat asli daerah tersebut memahami alam mereka Irawan & Muhartati, 2019. ...Lora OktaviaWirdanengsih WirdanengsihPenelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kearifan lokal tradisi Badantam pada upacara perkawinan di Nagari Sandi Ulakan Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padang Pariaman. Pelaksanaan tradisi Badantam pada masa pandemi COVID-19 didukung oleh partisipasi aktif masyarakat Nagari Sandi Ulakan. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori etnosains oleh James P. Spradley serta pendekatan kualitatif tipe etnografi. Lokasi penelitian yaitu di Nagari Sandi Ulakan. Teknik pemilihan informan yaitu purposive sampling dengan informan berjumlah 15 orang. Teknik pengumpulan data yaitu observasi partisipasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Untuk mendapatkan data yang valid dilakukan triangulasi data. Analisis data menggunakan model analisis etnosains. Hasil penelitian ini menunjukkan kearifan lokal dari tradisi Badantam berupa nilai-nilai dari tradisi Badantam yang masih menjadi kebudayaan masyarakat hingga sekarang ini di Nagari Sandi Ulakan. Nilai-nilai dari tradisi Badantam yaitu tolong menolong, silaturrahmi, kebersamaan, persatuan, kekeluargaan dan suka rela.... Learning with culture includes the use of various forms of cultural embodiment. In learning with culture, culture and its manifestations become learning media in the learning process, become the context of examples of concepts or principles in a subject, become the context of applying principles or procedures in a subject Irawan & Muhartati, 2019. For example, in learning mathematics, to represent the shape of numbers positive numbers, negative numbers in a number line, use a number line that uses cepot Sundanese puppet characters. ...Setyo Eko Atmojo Beny Dwi LukitoajiFaiz NoormiyantoThis research aims to develop thematic learning based on local culture as an effort to instill the values of national and state character in inclusive reference primary schools. The novelty of this research lies in the basis of local culture in instilling character values that are implemented in inclusive reference schools. The research method is research and development. The products produced through this research are thematic learning tools based on local wisdom consisting of syllabus, lesson plans, teaching materials, media and evaluation tools. Data collection techniques in this study used observation sheets, questionnaires and test questions. The data analysis technique used descriptive percentage, difference test t-test and improvement test N-gain. The results of this study indicate the acquisition of a score of more than with a maximum score of which is in the high validity category. The average frequency of achieving character values in thematic learning based on local culture is in the high category. Where all aspects of character values appear and are carried out by more than 80% of students in the class. Meanwhile, in the t-test of post-test results, the value of t count = > t table = and p count = 0 80 yang berada pada kategori valid berdasar penilaian ahli. Hasil implmentasi produk menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan mampu meningkatkan literasi budaya dan kewargaan dengan N gian sebesar 0,49 berada pada kategori sedang. Berdasarkan hasil angket ketepatan pembelajaran diketahui bahwa sebesar 82,50 % siswa memberikan respon positif terhadap pembelajaran tematik berbasis etnosains. Produk penelitian ini mampu meningkatkan literasi budaya dan kewargaan siswa karena dalam pembelajaran ini menginterasikan budaya ke dalam tema pembelajaran sehingga membuat siswa mengetahui secara mendalam bahwa terdapat keterhubungan kaitan antara budaya dan tema pembelajaran. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa produk pengembangan ini memiliki tingkat kevalidan yang baik, efektif dalam meningkatkan literasi budaya dan kewargaan serta mampu diterapkan dengan baik dalam proses pembelajaran di education has relevance to be implemented in the higher education curriculum in Indonesia, this is inseparable from Indonesia's position which is included in the ranks of megabiodiversity countries and has a number of biodiversity hotspots. Indonesia's very high rate of biodiversity loss requires immediate treatment through conservation activities and collective awareness building through biodiversity education. Biodiversity education can be done through formal and informal education. Formal education at the University is carried out through courses such as Conservation Biology. This research is a qualitative research with the aim of obtaining empirical data on the development of the conservation biology lecture program. Research data were collected through questionnaires, interviews, observations, and document studies. The empirical data obtained through the Preliminary research activities were then analyzed and interpreted according to the research findings. The results of the preliminary study found that lectures had not led to an increase in biodiversity literacy as the foundation for conservation literacy in students. The results of the study of needs analysis for CSP-based conservation biology lectures require several supporting tools such as RPS, teaching materials/books/modules, toolkits, OCS applications, CSP activity training, biodiversity research training and biodiversity conservation skills align="center">Pembelajaran biologi tidak dapat dipisahkan dengan konteks lingkungan termasuk kearifan lokal. Tradisi maauwo merupakan kegiatan penangkapan ikan hanya boleh dilakukan sekali dalam 1 tahun di kabupaten kampar. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan merekonstruksi pengetahuan sains ilmiah scientific knowledge dari tradisi maauwo . Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis etnosains dengan metode wawancara dan observasi. Analisis data menggunakan model Miles-Huberman yang meliputi reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi maauwo sebagai salah bagian dalam sistem pengelolaan sumber daya perairan di danau bakuok. Masyarakat dilarang mengambil ikan dalam periode tertentu, dilarang untuk menyentrum maupun meracuni ikan serta menanami sawit di tepi danau bakuok. Penerapan aturan tersebut memiliki nilai konservasi lingkungan untuk menjaga keseimbangan ekologi di danau bakuok. Kearifan lokal maauwo di danau bakuok memiliki potensi sebagai sumber belajar biologi pada materi pelestarian ekosistem dan pencemaran lingkungan.

KEMENTERIANKELAUTAN DAN PERIKANAN. Nomor: SP.299/SJ.4/XII/2020. JAKARTA (20/12) - Dukung pemanfaatan biofarmakologi laut oleh masyarakat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang laut (Ditjen PRL) menyalurkan bantuan sarana pengolahan biofarmakologi senilai Rp99,8 juta kepada Kelompok Pengolahan

Jakarta Pasang surut merupakan fenomena alam yang menunjukkan pergerakan permukaan air laut secara berkala. Pasang terjadi ketika air bergerak sampai batas terjauh garis pantai, sedangkan surut terjadi saat air bergerak menjauhi garis pantai. Peristiwa ini disebabkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik antara laut, matahari, dan bulan. Namun, pasang naik dan surut air laut yang ada di bumi mayoritas dipengaruhi oleh gravitasi bulan. Lantas, bagaimana proses terjadinya pasang surut air laut? Untuk mengupasnya lebih lanjut, simak pembahasan mengenai proses, jenis, dan manfaat pasang surut air laut yang dikutip dari Zenius Proses terjadinya pasang surut air laut Pasang surut air laut terjadi karena beberapa faktor, utamanya adalah gaya gravitasi bulan terhadap bumi dan rotasi bumi. Ketika sisi bumi yang paling dekat dengan bulan mengalami tarikan gravitasi bulan yang paling kuat, maka akan menyebabkan air laut naik. Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini? Di sisi bumi lain yang jauh dari bulan, gaya rotasi bumi akan lebih kuat dibandingkan dengan tarikan gravitasi bulan. Gaya rotasi bumi ini menyebabkan air menumpuk, sehingga terjadilah fenomena pasang air laut. Sementara itu, proses surut air laut terjadi pada belahan bumi lain yang gaya gravitasi bulannya kecil. Misalnya, pada saat tidak mengalami bulan purnama atau bulan baru. Ketika gaya gravitasi bulan menarik air laut di salah satu belahan bumi, itu juga akan menarik jatah air dari belahan bumi lain, sehingga terjadi pasang. Di sisi lain, air di belahan bumi yang diambil jatah airnya akan menjadi surut. Jenis pasang surut air laut Pasang surut air laut disebabkan oleh gaya gravitasi matahari, bulan, dan rotasi bumi. Itulah sebabnya, pasang surut air laut bisa dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan posisi matahari, bulan, dan bumi. Kedua jenis tersebut ialah pasang purnama dan pasang perbani. Selain itu, berdasarkan frekuensinya, pasang surut juga dibedakan menjadi diurnal, semidiurnal, dan campuran. Berikut masing-masing penjelasannya Pasang Purnama Spring tides atau pasang purnama terjadi pada waktu bulan memasuki fase bulan purnama dan bulan baru. Fenomena ini terjadi ketika matahari, bumi, dan bulan terletak sejajar atau membentuk sudut 180 derajat. Fenomena spring tides ditandai dengan terjadinya pasang naik yang sangat tinggi, namun akan sangat rendah ketika surut. Hal ini dikarenakan posisi antara matahari, bumi, dan bulan yang sejajar membuat gaya tarik menariknya tinggi. Analoginya, kalau belahan bumi A menarik, maka akan ada belahan bumi lainnya yang tertarik. Karena tarikannya besar, maka pasang dan surutnya juga besar. Pasang Perbani Neap tides atau pasang perbani terjadi saat bulan berada pada fase paruh akhir dan paruh awal. Pasang ini terjadi ketika posisi matahari, bumi, dan bulan berada saling tegak lurus membentuk sudut 90 derajat. Pada fenomena ini, ketika air laut sedang pasang, permukaannya tak begitu naik. Begitu pun ketika sedang surut, permukaan air laut tidak terlalu rendah. Pasang Surut Diurnal, Semidurnal, dan Campuran Perbedaan utama antara pasang surut diurnal dan semidiurnal terletak pada periode gelombangnya. Interval antara pasang naik dan surut terjadi sekitar 12 jam 25 menit. Pasang surut diurnal terjadi sebanyak satu kali pasang naik dan satu kali pasang surut dalam 24 jam. Sedangkan, pasang surut semidiurnal memiliki periode dua kali pasang naik dan dua kali pasang surut dalam 24 jam. Selain itu, ada pula pasang campuran yang menggambarkan kedua jenis tersebut. Pasang surut campuran terjadi sebanyak dua kali pasang dan dua kali surut dalam 24 jam dengan ketinggian pasang surut yang berbeda-beda. Manfaat Pasang Surut Air Laut Fenomena pasang surut air laut utamanya dimanfaatkan oleh nelayan untuk menentukan perkiraan waktu berlayar dan menangkap ikan. Selain itu, petani tambak garam juga bisa mengambil keuntungan dari fenomena ini. Petani garam bakal memperkirakan waktu terjadinya pasang air laut. Ketika fenomena itu terjadi, mereka akan mengambil air laut sebanyak-banyaknya untuk dijadikan garam. Tak cuma itu, Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA juga memanfaatkan pasang surut air laut untuk menggerakkan generator pembangkit listrik. Dengan begitu, listrik bisa dihasilkan dan dialirkan ke rumah-rumah. Demikianlah pembahasan mengenai fenomena pasang surut air laut, mulai dari proses, jenis, hingga manfaatnya bagi kehidupan. Semoga bermanfaat! Nurisma Rahmatika BacaSimak, Proses Terjadinya Pelangi Hingga Fakta Uniknya 55 Kendala yang dihadapi masyarakat dalam pemanfaatan pasang surut air laut sebagai sumber energi alternatif adalah . (A) ancaman bahaya tsunami (B) keterbatasan penguasaan teknologi (C) ketidakstabilan sumber energi (D) keterjangkauan lokasi permukiman (E) keterbatasan sumber pendanaan. Jawaban: (B) keterbatasan penguasaan teknologi. 56.
\n\n \n pasang surut air laut bintan
Aruslaut umumnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Arus laut arus bergerak dari barat laut menuju ke arah tenggara dengan kecepatan sekitar 0,02 m/s sampai 0,32 m/s atau 2 cm/s sampai 32 Pada25 tahun mendatang, muka air laut naik hingga 19 cm. "Kenaikan muka laut relative sebesar 0,73-0,76 cm per tahun. Ini tanpa memasukkan faktor land subsidence di daerah pantai," kata Budi Sulistyo, Stasiun pemantauan itu akan dibangun di Bintan, Derawan, Lombok, Bitung, dan Aceh. Download Aplikasi Prediksi Pasang Surut di web STUDIBIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU . Maspari Journal. 8(1): 15-24. Soebyakto, 2009. Analisa Pasang Surut Air Laut di Pantai Kota Tegal. Kelautan. Jakarta. Sugianto, D. N. (2007). Studi Pola Sirkulasi Arus Laut di Perairan Pantai Provinsi Sumatera Barat. Ilmu Kelautan. 12

sistemgerak air di laut hasil dari interaksi gerak air-udara yang terjadi di laut di bumi serta interaksi bumi dengan planet, bulan dan bintang dan pasang surut laut. 1) Bidang Dinamika Laut, Pusat Pene litian Oseanografi-LIPI, Jakarta 9 sumber: Volume XXXI No. 4, 2006.

Terlebihlagi Kapolsek Gg. Kijang ini mengatakan penanaman pohon mangrove sangat bermanfaat untuk mencegah erosi tanah disekitar pantai akibat pasang surut air laut serta hantaman ombak kuat disaat musim angin Utara ini. Adapun jumlah pohon mangrove yang ditanam oleh Kapolsek Gg. Kijang bersama Mahasiswa Umrah ini sebanyak kurang lebih 50 pohon.
.
  • 9sghssh5wj.pages.dev/499
  • 9sghssh5wj.pages.dev/21
  • 9sghssh5wj.pages.dev/498
  • 9sghssh5wj.pages.dev/839
  • 9sghssh5wj.pages.dev/564
  • 9sghssh5wj.pages.dev/904
  • 9sghssh5wj.pages.dev/775
  • 9sghssh5wj.pages.dev/795
  • 9sghssh5wj.pages.dev/495
  • 9sghssh5wj.pages.dev/895
  • 9sghssh5wj.pages.dev/467
  • 9sghssh5wj.pages.dev/235
  • 9sghssh5wj.pages.dev/745
  • 9sghssh5wj.pages.dev/312
  • 9sghssh5wj.pages.dev/239
  • pasang surut air laut bintan