Berikutini cerpen cinta romantis terbaru dengan judul "Rain". Cerpen ini merupakan karya Dian S. Cerpen Romantis - Rain (Part 1) Bianca berdiri di balkon kamarnya. Pandangannya menatap lurus ke depan. Hujan yang begitu deras kini menyita perhatiannya. Dia menatap rintik-rintik air yang turun dengan sendu.
Penulis EMERALDKategori Oneshoot Lily mencintainya, sangat. Kekasihnya, suaminya, pujaan hatinya. Perawakannya tinggi menjulang dengan dada bidang dan otot-otot liat tanpa lemak yang membuat para wanita tergila-gila. Damar tampan, dan semua orang, termasuk Lily, awalnya mengira bahwa pria itu seorang aktor di televisi atau model di majalah-majalah. Namun entah kenapa, pria itu mendekatinya, menyatakan cinta, lalu melamarnya hanya dalam hitungan bulan. Lily putih dan cantik, serta langsing, dan ia terlihat lebih muda dari Damar yang usianya terpaut lima tahun di bawahnya. Damar jatuh cinta pada pandangan pertama, dan itu cukup bagi Lily untuk menerima lamaran pria itu. Damar yang bekerja di bagian keamanan di sebuah hotel bintang lima, untuk pertama kalinya bertemu Lily di supermarket tempat Lily bekerja, dan langsung berpikir untuk menikahinya. *** Lima tahun berlalu, dan mereka telah dikarunia seorang anak perempuan yang kini berusia tiga tahun. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Lily masih bekerja di supermarket sementara Damar saat ini bekerja sebagai supir di sebuah perusahaan furniture ternama di ibu kota. Damar tetap tampan dan atletis, tetap menjadi pujaan para wanita. Dan Lily masih mempunyai keyakinan yang sama bahwa Damar sangat mencintainya, memujanya. Meskipun akhir-akhir ini Damar jarang pulang ke rumah karena pekerjaan barunya itu. "Sayang... kamu sibuk sekali, ya? Akhir-akhir ini jarang pulang." Pagi ini Damar menatapnya, dan baru kali ini Lily benar-benar melihat sepasang bola mata hitam suaminya selama dua tahun terakhir ini. Mata itu, mata yang dulu memujanya dan penuh cinta serta kekaguman, kini tampak memandang jijik pada Lily, dan itu membuat Lily terkejut. Atau... itu hanya perasaannya saja? tanya Lily dalam hati. "Aku akan menikah lagi, dengan bosku." Lily menganga. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. "Sayang... kamu bercanda kan?" Lily berusaha untuk menggapai lengan Damar, namun suaminya itu malah menghindar. "Aku serius. Aku sudah tidak mencintaimu lagi. Aku akan menikah dengan Bu Armita. Malam ini juga aku akan pergi dari rumah ini." Jantung Lily berdegup dengan kencang. Dug. Dug. Dug. Apa ia tadi salah dengar? Apa katanya? Tubuh Lily terasa panas terbakar dan bergetar. Ia menatap tak percaya pada suaminya. "Ta... tapi... kenapa?" Damar mendengus. "Mengacalah, Lily. Dulu aku mencintaimu karena kau sungguh makhluk terindah di mataku. Tapi kini, kau hanya bagai gumpalan lemak dengan wajah kusam dan kuyu tanpa sinar. Rambutmu pun seperti sapu ijuk. Kau tidak mendengar bisikan para tetangga? Aku disangka anakmu. Atau mungkin... suami mudamu." Lagi-lagi Damar mendengus. "Selamat tinggal." Air mata telah memburamkan pemandangan di depannya. Dunianya terasa berputar hebat dan ia merasa lututnya lemas, hingga kini ia terduduk di lantai dengan napas terputus-putus, sementara Damar telah pergi setelah membanting pintu dan melajukan motor Byson-nya. Damar... ke mana katanya? Suaminya itu bilang bahwa penampilannya saat ini kusam? Gumpalan lemak? Sapu ijuk? Lily membungkuk hampir bersujud di lantai dingin di bawahnya. Lalu ia mulai berteriak keras, dan menangis menjerit-jerit. Ia tidak sadar apa yang terjadi pada dirinya hingga beberapa tetangga telah mengelilinginya dengan tatapan bingung campur cemas dan takut. Lalu pandangannya gelap. *** Ia terbangun dengan perasaan hampa. Ia bingung dengan apa yang terjadi padanya, sampai Luna-putrinya yang manis dan putih, yang wajahnya sangat mirip Damar-menyentuh lengannya. "Ibu... kenapa?" Lily mulai menangis dan menjerit histeris lagi, lalu pergi ke dapur untuk mencari sebilah pisau. "Bu Lily, jangan!" Beberapa orang memeganginya dan membuang jauh-jauh pisau dapur dari tangannya. "Istighfar, Bu!" "Aku mau mati! Aku mau mati! Aku mau mati!" jerit Lily antara sadar dan tidak sadar. Kakinya terasa melayang, dan tubuhnya seperti tidak merasakan apa-apa meski tangan-tangan meremas lengannya dengan kuat. "Sebenarnya ada apa?" tanya salah seorang tetangganya. "Suamiku... suamiku pergi... mau menikah lagi dengan wanita sialan, nenek sihir, jalang perebut suami orang!!" Lily mendengar suara istighfar dari mulut-mulut di dekatnya, namun pikirannya tengah kalut, dan ia tidak mendengarkan apa pun ucapan simpati mereka yang ditujukan padanya. Di otaknya hanya terngiang satu kata MATI. *** Selama Sebulan lamanya, yang dilakukan Lily hanyalah duduk sambil memandangi pantulan bayangannya di cermin di depannya. Ia gemuk, ia tua, ia kusam, ia jelek, ia hitam, dan ia tampak bagai nenek tua. Sejak kapan ia tak pernah berdandan? Sejak kapan ia tak pernah menyisir rambutnya? Sejak kapan ia membiarkan lemak tertimbun di hampir seluruh bagian tubuhnya? Sejak kapan ia hanya mengenakan atasan lusuh dan celana lusuh? Ia kira suaminya tetap mencintainya bagaimanapun rupanya saat ini. Ia kira mata dan hati suaminya hanya memujanya seorang. Ternyata ia salah besar. Ia telah melakukan kesalahan fatal. Akibat kelalaiannya, suaminya meninggalkannya. Ia hanya mementingkan mengurus anak, suami, dan rumahnya, tanpa memedulikan rupanya saat ini. Lily kembali menangis histeris, membuat kakak dan adiknya masuk ke dalam kamarnya dan menenangkannya. "Lily, tenanglah!" Lily tertawa keras. "Aku baik-baik saja. Aku tampak tua dan jelek, tapi aku baik-baik saja!" Ia kembali tertawa, kemudian menangis. "Aku mau mati, mau mati!" Mungkin ia telah gila, gila karena telah mencintai orang yang salah. ***Jatuhyang kumaksud adalah 'Jatuh Cinta'. Indah rasanya, hingga aku lupa dengan keadaan sekitarku. Aku terlalu menikmatinya 'Kasmaran'. Kata yang sering digunakan oleh remaja saat ini. Sering aku tersenyum sendiri, melamunkan dirinya. Salah tingkah pun tak bisa lepas dariku bila dia berada di depanku. Ingin rasanya memeluk dirinya, tapi
Cerpen Safik Yahida Cerita ini saya tulis ketika sedang berada di halte menunggu bus kota sumedang, dan disitulah saya mengobrol dengan seorang perempuan setengah tak waras yang setiap harinya setia menunggu tunangannya yang pergi meninggalkannya entah kemana Tangan ini masih sedikit luka oleh bekas lilitan tali yang menjeratku juga mulutku pun terasa kaku karena di sumpal kain sekian lama sehingga tidak bisa berteriak tapi tidak pada suara hatiku yang masih bisa berdoa supaya apa yang mereka lakukan padaku akan dibalas dengan hukuman yang setimpal atas semua penderitaan yang telah mereka lakukan padaku dengan sebuah alasan atas nama kebaikan aib keluarga mereka menyekap dan membiarkan aku terkapar di sudut kamar yang gelap. Apa aku ini di mata mereka? Apa aku bukan lagi bagian dari keluarga mereka karena kelakuanku kurang baik yang selalu menjambak rambut setiap wanita yang kutemui? Seperti apakah orang yang baik itu? Apakah orang yang pernah mengurung seseorang bisa disebut orang baik? Bukan. Di kamar yang gelap itu aku selalu bertanya dalam hati kenapa mereka mengurungku? Apa yang salah pada diriku sehingga mereka merasa takut dan menjauhiku? Apa mereka menganggapku gila hanya karena selalu tersenyum sendiri dan setelah itu langsung menangis? Bukankah senyum itu amal paling murah yang oleh semua agama merasa diharuskan dan menangis itu hakikat manusia yang tidak bisa dilepaskan? Atau karena aku satu-satunya orang yang percaya bahwa gerimis itu bisa turun di saat musim kemarau? Nyatanya di musim yang panas ini gerimis selalu turun di mataku. Mungkin karena hal itulah sampai sekarang aku masih belum mendapatkan jodoh atau mungkin juga karena memang semua wanita merasa takut padaku? Yang jelas aku bukanlah lelaki yang gampang jatuh hati pada seseorang sebab aku menginginkan wanita yang setia tidak seperti kekasihku dulu yang selalu mengatur hidup ini kemudian pergi meninggalkanku begitu saja dan akhirnya membuat hatiku hancur melebihi rasa sakit ketika terkurung di waktu lalu dan mungkin karena ulah kekasihku itulah awal dimana aku pun dijauhi pula oleh orang-orang karena tanpa henti aku selalu menangis. Aku ingin bebas seperti sekarang bisa leluasa pergi dan duduk di bangku taman sambil dengan tenang menikmati hembusan angin malam yang membelai rambutku seperti dulu ketika aku pernah tertidur di pundak kekasihku sambil ia sesekali membelai helaian rambutku ditemani rembulan yang ikut menyaksikan kami berdua. Indah sekali saat itu karena di pikiranku hanya ada bayangan kekasihku itu tidak ada siapapun atau mungkin semua orang telah kulupakan meski aku tak tahu hilang dimana ingatanku itu sehingga kini membuat aku merasa takut pada semua orang dan yang kurasakan sekarang aku selalu ingin menjambak rambut setiap wanita yang kutemui sambil berkata apa kamu tidak merasa sakit ditinggalkan kekasih sendiri tanpa alasan yang jelas? Memang bukan kamu yang melakukan hal itu padaku tapi kurasa kamu pun akan melakukan hal yang sama. Teriakku. Memang hidup ini singkat terlalu singkat bila hanya digunakan untuk mengingat masa lalu yang kelam dan sekarang aku merasa hidup kembali dengan jiwa yang baru setelah kabur dari kurungan yang menjeratku. Akhirnya aku kembali ke taman ini sebuah tempat dimana aku dan kekasihku dulu selalu menghabiskan malam tanpa ada yang mengganggu mungkin saja aku bisa kembali bertemu dengannya disini dan meluapkan perasaan kesal yang selama ini berkecamuk di hatiku yang hancur teapi nyatanya dari balik pepohonan yang rindang aku mendengar seorang wanita yang lain sedang bernyanyi dengan lirik-lirik yang membuat merinding dan suaranya begitu merdu seperti salah seorang penyanyi yang lagi sibuk disorot berita infotainment karena bisa menjadi pacar seorang pencipta lagu cinta yang menyayat hati. Tidak. Bukan seperti suara penyanyi itu karena aku belum pernah mendengar suara aslinya sebab ketika ia menyanyi hanya menggunakan trik Lip Sync sambil berkomat-kamit mengikuti lirik dan irama lagu. Seperti orang gila saja. “Aku kembali mengingatmu di sisa gerimis Diantara punggung batu yang mengukir namamu Disitulah, kenangan kita telah terpahat Atau pada daun kering bagaikan selembar surat Yang menuntaskan sebuah jejak ziarah Aku telah menuliskannya sehabis gerimis Lalu menjadi abadi di kedua mataku Aku rindu bersamamu, menyulam ribuan malam dengan tatapan tajam, Namun maut memutuskannya, menjelma sabit membuat matamu terpejam. Untukmu, aku rela bersetubuh bersama angin Dengan dingin yang kucicipi nikmatnya sepi Dan bila kau tak kembali Aku menjema doa untuk menemuimu”[1] Karena mendengar suara yang seperti keluar dari lubuk hatinya itu aku memberanikan diri mendekati wanita itu dan duduk bersebelahan dengannya. Keberanian dan kebaikan apa hingga aku tidak menjambak rambutnya malah bertanya dan ingin mengetahui siapa ia sebenarnya. “Sedang apa dan menunggu siapa kamu disini?” tanyaku sambil melihat tatapan matanya yang kosong seperti pikiranku yang juga kosong karena aku bisa berani mendekati seorang wanita. Dia hanya diam. “Apa kamu sedang menunggu kekasihmu?” tanyaku lagi meminta jawaban. “Kamu pun sedang apa disini?” ia pun melontarkan pertanyaan. Apa yang ia pikirkan sehingga pertanyaanku tidak dijawabnya malah balik bertanya. “Aku sedang mendengarkan suaramu,” jawabku singkat. “Apa kamu gila datang kesini hanya untuk mendengarkan suaraku.” jawabnya. Tanpa pikir panjang lagi aku pun langsung mengutuknya supaya ia pun menjadi gila karena mengatakan aku gila padahal aku sama dengannya sedang menunggu kekasih yang entah sedang berada dimana sekarang. “Aku juga sama denganmu sedang menunggu seseorang disini,” timpalku dengan nada mengejek bila aku gila pun aku tidak peduli yang penting ada yang mau sama nasibnya denganku. “Aku tidak sama denganmu aku hanya seorang wanita yang dijauhi orang-orang bahkan dicemooh oleh mereka dan hanya kamu saja yang mau mendekatiku sekarang apa memang kamu benar-benar sama denganku?” Jujur aku tidak mengerti apa yang diucapkannya apakah nasibnya sama seperti yang pernah aku alami beberapa waktu terakhir dijauhi dan dibenci semua orang dan apakah hatinya pun sama hancurnya dengan hatiku karena ditinggalkan kekasih begitu saja? Tapi nyatanya ia sedang menunggu kekasihnya disini. “Aku tidak mengerti dengan apa yang kamu ucapkan bukankah kamu sedang menunggu kekasihmu disini? Kekasihmu pasti ingin menemuimu lalu kamu anggap apa kekasihmu itu bila orang-orang tidak ingin menemuimu?” mungkin karena melihat wajahnya yang sedih aku pun lalu bisa mengatakan hal yang seperti itu. “Bagaimana bila kekasihku tidak sama seperti orang-orang? Apakah kekasihku bisa disebut beda dengan mereka?” pertanyaan itu muncul dari bibir mungilnya dengan menghembuskan aroma nafas yang begitu khas di hidungku. Aku tidak menjawab pertanyaan wanita itu aku malah kembali teringat kekasihku dimana ia pun pernah mengatakan hal yang serupa seperti ini. Aku tahu ia menerima cintaku karena dulu aku selalu menghiburnya sewaktu sedang dilanda kesedihan karena kekasihnya telah tiada―mati akibat kecelakaan lalu lintas dan mungkin dengan dia menerimaku rasa terimakasihnya sudah bisa terbalas dengan kebohongan yang telah lama kita jalani. Seperti paranoid atau dejavu hal itu kembali terulang sekarang apa kekasih wanita ini sudah tiada dan ia tetap setia menunggunya walau tidak akan datang? Sungguh setia wanita ini tidak seperti kekasihku setelah puas mempermainkanku lantas ia pergi begitu saja dan hanya meninggalkan luka yang membuatku terjatuh. “Pergi saja kamu dari sini kekasihku sudah datang.” ia kembali bicara tanpa terlebih dahulu menunggu jawabanku. Otakku memang sudah bingung tapi dengan keadaan seperti ini aku malah tambah bingung bila aku tidak menjawab pertanyaannya bukan berarti aku tidak peduli padanya malah sekarang ia yang tidak peduli dan berani mengusirku dengan alasan kekasihnya sudah datang padahal tak ada. Tak ada namun ada. Ada namun tak ada. Ada atau tidak ada tetap ada. Begitu katanya. Berarti maksud dari ucapannya barusan benar bahwa kekasihnya sudah tak ada dan inikah yang di maksud dengan kekasihnya beda dengan orang-orang? Ternyata kekasihnya sudah bukan lagi orang melainkan sesuatu yang telah tak ada―mati. Aku tidak menjauhinya karena aku ingin menemani dan menggantikan kekasihnya yang tak ada itu. Ah sungguh setia sekali ia seperti wanita yang aku harapkan walaupun ia berbicara dengan angin seolah-olah sedang berbicara dengan kekasihnya dan tidak menganggapku ada tapi aku tak peduli aku hanya terus mengamati gerak-gerik wanita itu dan ia terus saja berbicara sambil diiringi selingan tawa seperti seorang yang baru melepaskan kerinduan yang telah lama belum tertuntaskan dan aku pun ikut tertawa tanpa tahu kenapa aku harus tertawa. Namun rasa kesalku pun belum tertuntaskan pada kekasihku dulu sehingga kulampiaskan saja kekesalan itu kepada seorang penjaga taman dengan menjambak rambutnya karena lelaki tua itu bilang padaku untuk menjauhi wanita itu karena ia sudah gila dan sudah lama selalu berbicara sendiri di taman ini. Akhirnya si penjaga taman itu pun mengatakan dan menganggap bahwa aku juga gila. Sekarang aku tidak peduli lagi dengan omongan orang-orang mau mengatakan apa yang jelas aku tidak ingin jauh dari wanita yang baru kukenal ini karena kesetiaan cinta pada kekasihnya yang ada namun tak ada itu sehingga telah membuatnya menjadi seperti itu. Cinta memang gila dan aku pun mulai jatuh cinta dan tergia-gila padanya. Dan kenapa aku bisa jatuh cinta pada orang gila? Apa memang aku benar-benar gila? Entahlah. Bandung, Juni 2011 [1] Diambil dari puisi Ihsan yang berjudul “Sehabis Gerimis” dan puisi itu dibukukan dalam antologi bersama dengan judul buku Nyanyian Anak Negeri Pustaka Adab, 2011.CERPEN: BAGAIMANA AKHIRNYA AKU JATUH CINTA. Nama aku Adam Benjamin bin Adam Edward. Aku dilahirkan dalam keluarga yang langsung tak tahu apa-apa tentang Islam. Perkara yang asas itu tahulah, itupun rasa malas gila nak buat. Mama dan papa aku muallaf. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Tampak seorang pria tengah duduk di sebuah ruangan yang sangat berantakan. Buku-buku dan beberapa pakaian berserakan dimana-mana. Sinar matahari pun tak mampu menembus ruangan itu, sunyi.. sepi... gelap.. dingin.. hanya ada lampu duduk yang meneranginya. Lagi pun ruangan itu kedap suara sehingga menambah kesan horor dalam ruangan pria itu tampak begitu fokus tanpa mempedulikan mirisnya keadaan ruangan yang sedang ia tempati. Dia hanya sibuk dengan sebuah laptop yang sedang ia mainankan. Suara ketikan demi ketikan terdengar begitu cepat. Seperti kilat yang saling menyambar begitu pula paragraf demi paragraf mulai mencuat kepermukaan layar. Rambut yang berantakan dan pakaian yang lusuh membuatnya terlihat seperti gelandangan.“Sedikit lagi,..... Ayo ayo ”. ucapnya Suara ketikan terdengar begitu cepat.... “Yess... akhirnya selesai juga”. Tampak ia menutup laptopnya dan segera berangkat ke tempat kerjanya di sebuah perpustakaan di pusat kota. Seperti perpustakaan lainnya, suasanya pun tak jauh berbeda sepi, hanya beberapa orang yang berkunjung dan membaca buku. Tugasnya pun tak begitu sulit hanya menjaga dan duduk di meja informasi saja.“Permisi... Mas ? Mas???” Seorang perempuan mengalihkan fokusku.“Ooohh iiyaaa... Ada apa mbaa?”. “Saya mau mengembalikan novel yang saya pinjam”. Jelasnya“Nama mbak nya siapa ya? Dan kapan meminjam bukunya?”. Tanyaku“Nama saya Alma Nadira, hmmm kapan yah lupa lagi... hmmm kemarin lusa tanggal 21”. Dia mencoba mengingat ingat. 1 2 3 4 5 6 Lihat Fiksiana Selengkapnya Sudahlama aku tidak jatuh cinta!Sampai aku lupa bagaimana rasanya jatuh cinta.Banyak orang mengatakan hidup yang tak memiliki cinta adalah hidup yang Cerpen | Jatuh Cinta untuk Kedua Kali Halaman 1 - Kompasiana.com Cerpen Karangan Octa RinaKategori Cerpen Cinta, Cerpen Perpisahan, Cerpen Sedih Lolos moderasi pada 12 September 2013 Ia melihat senja dengan tatapan kosong, gadis itu seakan berbicara pada senja, ia berada di ambang kesedihan yang amat dalam, kesedihannya terpancar jelas dari raut mukanya. Hatinya seakan berkomunikasi pada senja, tatapan matanya seakan meminta harapan. Dan setiap senja itu berakhir ia menangis, menangis sampai ia benar-benar tak bisa melanjutkan tangisnya. Aku hanya memandang gadis itu dari kejauhan, sudah tiga hari aku mengamatinya, ia selalu berada di tempat ini saat senja tiba. Aku ingin sekali menghampiri gadis itu, tapi aku selalu ragu, aku tak ingin mengusik kesendiriannya. Apa ia butuh teman? Apa ia butuh seseorang untuk menghiburnya? Aku masih terus bertanya-tanya, mengapa aku begitu tertarik pada gadis itu? Aku kan tidak mengenalnya, bahkan namanya saja aku tidak tahu. Hatiku terus menuntutku untuk menemuinya. Dan aku mencoba memberanikan diri sekarang. “hay” kataku menyapanya. Ia terlihat terkejut dan mencoba menghapus airmatanya. “ada apa?” ia menjawab. “bolehkah aku duduk disini?” aku bertanya dengan gugup. “ya tentu!” Gadis itu terdiam. “apa yang kau lakukan disini? Mengamati senja sampai senja itu berakhir?” aku kembali bertanya. Tapi, mengapa ia menatapku dengan tatapan marah, ia berdiri dan pergi. “hey mengapa kau pergi? Nona?” aku berteriak memanggilnya, tapi ia mengabaikannya, aku melihat gadis itu berlari, berlari sambil menangis. oh astaga apa yang kuperbuat? Apa aku menyakitinya dengan ucapanku tadi? Harusnya kan aku menghiburnya, bukan malah membuatnya menangis, ah bodohnya diriku. Keesok harinya aku kembali melihatnya disini saat senja tiba, tanpa ragu aku mendekatinya “hey, maaf ya untuk perkataan ku kemarin” kataku berterus terang dan ia menatapku. “ya, tidak masalah..” “mengapa kemarin kau berlari dan menangis? apa perkataanku menyakitimu?” ia terdiam. “maaf, aku banyak bertanya.” Aku tersenyum lalu bangkit dari duduk ku. “kenapa kamu ingin tahu?” katanya menatapku. “aku hanya heran mengapa kau selalu menangis ketika senja berakhir?” “duduk lah jika kau ingin tau.” Katanya tersenyum. “ok aku duduk, lalu mengapa kau bersedih? Apa senja menyakitimu?” aku sedikit tertawa.. ia menatap ku lagi. “senja tidak membuatku bersedih, senja adalah sahabatku.” Ia menjawab dengan tenang. “sahabat? Bagaimana caranya kau berkomunikasi dengannya?” kataku penasaran. “jika kau mengerti senja, ia akan memberitahumu bagaimana caranya.” Ia bangkit lalu pergi sambil tersenyum padaku.. “hey tunggu, siapa namamu?” aku setengah berteriak, lalu ia menoleh dan berkata “rinjani”. Rinjani? Nama yang indah. Tapi apa mungkin aku bisa berkomunikasi dengan senja? Gumamku dalam hati. Hari ini hujan turun, entah mengapa sore ini langit menangis setelah seharian ia marah dan membiarkan matahari memanggang kulit manusia yang beraktivitas dibawahnya. Selintas pikiranku menuju pada rinjani apakah ia berada di tempat kemarin? Tapi mustahil senja akan terlihat, awan mendung pasti akan menutupinya, tapi aku penasaran. “lebih baik aku kesana.” Gumamku. Setelah berada disana aku tak melihat sosok rinjani, hujan pasti telah membuatnya tak ingin berkunjung, kekecewaan menghampiri diriku. Aku duduk tertunduk di kursi ini sendirian dalam rintik hujan yang berusaha membasahi seluruh tubuhku. “hey” seseorang memanggilku, aku menoleh dan melihat sosok seorang gadis dengan payung yang tak asing bagiku. “rinjani?” aku tersenyum bahagia. “sedang apa kau disini? Berharap pelangi muncul setelah hujan reda?” ia tertawa kecil. “tidak, aku mengharapkan kehadiranmu.” Aku tersenyum. “aku sudah disini, lalu kau mau apa?” tanyanya dengan nada bercanda. “hmmm, mengajakmu melihat pelangi, walau hujan tak berhenti sampai malam hari. Bagaimana?” aku tertawa. “aku lebih ingin melihat senja ketimbang melihat pelangi” ia terdiam. “senja telah tiba, dia melihat kita tapi kita tidak melihatnya, jangan bersedih rinjani” aku tersenyum dan ia tertawa “ya aku tahu, siapa namamu?” Ia menatapku. “aku rama, salam kenal.” Aku menjulurkan tanganku. Hari begitu cepat berganti, tak terasa kini aku dan rinjani semakin akrab, kami dipertemukan oleh senja, dan aku merasa senja ingin aku selalu bersama rinjani dan ia ingin aku menghapus semua kesedihan yang rinjani simpan. Terlalu banyak luka, terlalu banyak kesedihan yang rinjani rasakan. Rinjani bercerita banyak tentang hidupnya, dan aku menangis ketika ia menceritakannya semua itu, ia hidup sendiri, orangtuanya telah meninggal 5 tahun yang lalu, ia kesepian, dan ia berusaha tetap merasa bahagia walau orang-orang disekelilingnya menghancurkan hidupnya. Betapa malangnya hidup gadis ini. Satu-persatu orang yang ia sayang melukai hatinya, mulai dari sahabat, teman bahkan kekasihnya terdahulu. Aku kagum padanya, ia masih bisa bertahan saat semua orang yang ia sayang menyakitinya, ia tabah walau orang lain berusaha menghalanginya menggapai kebahagiaan. Rinjani itu wanita istimewa, banyak hal yang ku kagumi dalam dirinya, ia kuat, tabah, dan sederhana. Dan aku bertekad untuk membuatnya bahagia selama tuhan masih memberiku nyawa untuk hidup. Sore ini aku pergi ketempat biasa aku bertemu rinjani, dan aku melihat rinjani sedang bernyanyi dengan gitarnya. Aku menghampirinya.. “When you love someone just be brave to say That you want him to be with you When you hold your love don’t ever let it go Or you will lose your chance To make your dreams come true..” “suara yang indah.” Aku tersenyum. Ia berhenti memainkan gitarnya dan ia tersipu malu. “kau selalu datang tiba-tiba, seperti angin.” Ia memandangku. “mengapa berhenti? Suaramu indah, ayo teruskan!” “tidak, tidak suaraku buruk.” Ia tersenyum. “kau selalu merendah, aku kan memujimu, bukan merendahkan suaramu.” Aku tertawa. “aku tak ingin jika awalnya kau memuji, dan pada akhirnya kau malah merendahkanku.” Ia tersenyum. “ayolah, aku tak seburuk itu, lihat senja, ia masih menginginkan kau bernyanyi.” “senja atau kamu yang menginginkan aku bernyanyi? Haha alasanmu saja.” Aku tersenyum kecil dan bernyanyi. “I used to hide and watch you from a distance and i knew you realized i was looking for a time to get closer at least to say… hello” “ayo teruskan, aku yang memetik gitar, kau yang bernyanyi, jangan sungkan anggap saja aku patung yang memainkan gitarmu.” Aku tersenyum. “mana ada patung yang secerewet kamu.” Ia tertawa.. — “Rinjani..” panggilku padanya, rinjani menoleh dan tersenyum.. “ini masih pukul 3 sore dan matahari masih membakar tubuh-tubuh manusia di bawahnya, sedang apa kau disini? Menunggu senja tiba?” aku tersenyum tapi ia tak menjawab. “ada apa rinjani? Kau beda sekali hari ini.” Aku terdiam, ada sesuatu yang berbeda pada rinjani, ia terlihat pucat tak secerah kemarin, apa ia sakit? “rinjani, kamu kenapa? Kamu sakit?” aku masih bertanya-tanya. “tidak, aku baik-baik saja rama. Jangan khawatir.” Ia tersenyum.. “oh syukur lah kalau begitu, apa yang kau lakukan disini? Matahari masih terasa panas jam segini” ia menoleh dan tersenyum “aku ingin menunggu senja dan melihatnya berakhir, mungkin ini adalah terakhir kalinya aku kesini, hehe..” ia tertawa.. “kamu ini, jangan bercanda, tetaplah berkunjung ke tempat ini, apa jadinya tempat ini tanpamu, tegakah kau melihatku kesepian.” Aku menatapnya. “jangan pernah merasa sendirian ram, ada senja yang akan selalu mengerti dirimu..” ia tersenyum.. aku terdiam. “rinjani, jangan pergi. Aku mohon.” Aku menggenggam tangannya. “ayolah, jangan murung. Aku hanya bercanda rama..” ia tersenyum “rinjani, jangan pernah katakan kau akan pergi, jangan pernah. Aku tak akan pernah sanggup mendengar kata-kata itu.” Aku memohon. “umur siapa yang tahu.” Katanya sambil tertawa.. “kita akan mati berdua disini saat kita sudah menjadi kakek dan nenek nanti.” Aku tersenyum dan ia menoleh. “seberapa besar sih arti hidupku untuk mu ram?” — Rinjani menghilang, sudah seminggu ia tak ke tempat ini, aku sudah mencoba menghubunginya tapi tak ada jawaban. Apa yang terjadi? Kemana rinjani? bagaimana kalau ia tak akan kembali? aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. Ya tuhan.. apa yang terjadi? Duduk sendirian memandang senja tanpa bersama rinjani itu rasanya berbeda. Hanya ada kesunyian tanpa canda tawa. Semuanya hilang mengikuti kepergian rinjani, bahkan senja tak menyapaku lagi, ia begitu cepat menghilang tak seperti hari-hari kemarin saat rinjani masih disini. Apa yang harus ku lakukan? Mana mungkin aku hanya diam. senja kau kan bersahabat dengan rinjani. Bisakah kau memberiku petunjuk? Aku benar-benar kehilangan arah sekarang… Aku mencoba mendatangi kost-an yang ditinggalin rinjani, tapi ia tak ada disana, apa ia telah pindah? Kalau benar, mengapa? Saat aku termenung di depan pintu kost-an rinjani seseorang menghampiriku.. “hey nak sedang apa kau disini?” tanyanya. “saya mencari rinjani bu.” “rinjani? Ia…” ibu itu menghentikan kalimatnya. “rinjani kenapa bu?” ibu itu terdiam. “tolong jawab bu, rinjani itu penting untuk saya..” “nak! Jangan bersedih.. rinjani telah tiada..” ibu itu termenung. “apa? Tidak.. tidak mungkin. Jangan memberiku cerita bohong bu, tidak mungkin. Ia pindah kan? Ia sudah tidak tinggal disini?” “nak tenanglah, rinjani telah meninggal 3 hari yang lalu.” Aku terdiam tak menyangka. “apa penyebabnya? Tanyaku. “sakit, kanker otak. Ia telah mengidap penyakit itu selama 2 tahun. Dokter telah memvonis kematiannya 1 tahun yang lalu, tapi ia mampu bertahan selama ini dengan semua beban yang menimpanya, ia anak yang kuat nak, biarkan ia tenang disana tanpa ada beban yang harus ia pikul lagi..” ibu itu tersenyum.. “tapi bu, rinjani itu penting buat hidup saya.” Aku menangis.. “sudah nak, siapa namamu?” “rama bu..” “rama, hhmm, rinjani menitipkan ini padamu.” Ibu itu memberikan ku sepucuk surat. “surat? Untukku?” aku terdiam.. “iya surat untukmu dari rinjani, ibu tinggal kamu sendirian ya?” ibu itu tersenyum lalu pergi. Aku terdiam dan mulai membaca isi suratnya. “Dear Rama… I wanted a perfect ending. Now i’ve learned the hard way, that some poems don’t rhyme, and some stories don’t have a clear beginning, middle, and end. Life is about not knowing, having to change, taking the moment, and make the best of it, without knowing what’s going to next happen Goodbyes are not forever, goodbyes are not the end. They simply mean i’ll miss you. Until we meet again. Promise me, you’ll never forget me, because if i thought you would i’d never leave. Don’t cry because it’s over. Smile because it happened. Good bye rama, and please open your eyes, life is so long. I don’t really gone. I’m still here. In your heart. Love Rinjani Aku meneteskan air mata.. Rinjani apa jadinya mengamati senja tanpa dirimu. Ini seakan-akan kembali ke beberapa bulan yang lalu sebelum aku mengenalmu, aku akan merindukan sosok istimewamu, sosok wanita tegar, kuat, dan ceria. Aku tahu mungkin sekarang kau telah bahagia, telah benar-benar bahagia tanpa beban yang harus kau pikul lagi. Perkenalan denganmu mungkin akan tetap jadi memori indah dalam hidupku, selamat jalan rinjani, terimakasih atas pelajaran berharga yang kau berikan padaku. – TAMAT – Cerpen Karangan Octa Rina Blog Cerpen Senja Dan Pertemuan Singkat merupakan cerita pendek karangan Octa Rina, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Share ke Facebook Twitter WhatsApp " Baca Juga Cerpen Lainnya! " Malam dan Siang Menyatu Oleh Bagus Pribadi Malam dan siang. Dua hal yang menurut sebagian orang tak mungkin dapat bertemu. Tapi nyatanya aku hidup di antara keduannya dalam waktu bersamaan. Tidak percaya? Atau penasaran? Berarti kamu Salam Rindu Untuk Papa Oleh Ria Ratoe Oedjoe Hari itu merupakan hari pengumuman kelulusan bagi anak-anak kelas 3 SMP. Hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap anak. Begitu pula denganku. Aku tidak sabar menunggu detik-detik pengumuman itu. Hatiku Mahkota Cinta Oleh Miftahul Anam Mobilku berjalan membelah gelapnya malam, jikapun bulan dan bintang keluar, pasti akan kembali membetulkan selimutnya dan berbaring di peraduannya, hujan lebat disertai angin kencang, akan membentuk dingin yang bisa Catatan Harian Si Angsa Hitam Oleh ALis W Makassar, Senin, 2015. Pagi menyapa wajah mengantukku yang nongol di jendela. Matahari belum sepenuhnya terbit, ternyata masih pukul 08;30. “What?!! Gua kuliahnya jam 08;15. Tapi, mataharinya kok belum nampak. Tentang Hujan dan Matahari Oleh Nurrinisha Wahyudi Saya pasti menunggu dia. Saya pasti bertahan untuk dia. Saya pasti tetap di sini karena dia. Dan, pasti segalanya tentang dia. Mungkin dia menunggu saya. Mungkin dia bertahan untuk “Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?” "Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan loh, bagaimana dengan kamu?" Dikalajatuh dia akan datang untuk mengangkatknya dengan kedua tangannya. Selalu mengharapkan kebahagiaan yang terurai Di setiap serat-serat persahabatan Bagiku sahabat adalah sebagian nafas yang aku punya Walau terkadang mereka sering pergi meninggalkanku Tapi, mereka telah tergores di tinta jalan hidupku. Sahabat tak pernah terurai oleh PLAK! Tamparan itu mendarat mulus ke pipi kiriku. Membawa sensasi perih disusul panas yang langsung saja terasa. Cerpen Sedih Kisah Seorang Psikopat Yang Gila Cinta Akan tetapi, lebih perih rasanya sewaktu aku melihat kedua mata Fina menampakkan sorot terluka serta marah ke arahku. Ponselku di genggamannya dia remas kuat, untuk kemudian dibantingkan ke lantai. PRAKK! Itu ponsel kelimaku di bulan ini, dan lagi-lagi hancur oleh tangan Fina. Apa daya. Ini semua salahku. "Sms siapa itu yang kamu balas, Yang?" "Itu Zizi. Dia teman sekelasku di kampus!" "Bohong!" sangkal Fina menjerit seraya mendorong dadaku menjauh. "Aku tau kamu bohong! Kamu pasti udah mulai bosan 'kan sama aku? Kamu sebenarnya suka 'kan sama dia?" Aku menggeleng. Buru-buru membawa Fina ke pelukan. "Nggak, Sayang. Aku gak bohong. Zizi itu cuma kawan di kampus. Aku sama dia sms-an membahas tugas yang kebetulan belum dia ngerti. Tolong kamu percaya, dong!" Tangisan Fina malah bertambah kencang. "Aku benci sama semua teman kamu, Yang. Kamu gak boleh dekat-dekat sama mereka. Jangan pernah luangin waktu sama mereka. Kamu itu cuma milik aku. Cuma aku yang boleh kamu perhatiin!" Aku mengangguk kuat-kuat hanya supaya bisa lebih meyakinkannya. "Iya, Sayang. Maaf karena aku udah nyakitin kamu. Aku janji, mulai sekarang cuma bakalan ada kamu. Udah, jangan nangis lagi," ujarku seraya mengusap pipi Fina yang lembab, menghapus bekas air matanya. Fina mendengus. "Janji kamu tuh seringnya bualan semata. Awas aja kalau ingkar lagi. Aku habisin kamu nanti!" Ancamannya hanya aku tanggapi dengan senyuman. "Iya, Sayang. Tenang aja. Aku cinta kamu." Fina lantas tersenyum, lalu memberikan aku ciuman mesra. Nama gadis itu Fina Mayang Sari. Kekasihku. Sosok gadis paling menawan dan cantik yang pernah aku kenal. Seseorang yang penuh perhatian, aktif, pun manis. Setiap kali aku jauh darinya, dia tak akan pernah lupa mengirimkan pesan dan bertanya; aku sedang apa, bersama siapa, akan pulang kapan, di mana, dan lain sebagainya. Yang mana, jawabanku tak akan pernah bisa membuatnya puas sebelum aku benar-benar sudah muncul di hadapannya. Membuat aku merasa memiliki arti lebih dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya, ada sosok yang tulus yang ingin berada di sisiku dan memberikan aku segenap perhatian. Mewarnai kembali hidupku yang tadinya terasa suram karena sudah seringkali dicampakkan bahkan diolok-olok oleh banyak orang. Aku terbuang. Lalu Fina menemukanku. Mempertemukan aku pada jalan hidup dan duniaku yang baru, yaitu dirinya. Tanpa Fina, aku tak yakin aku sanggup menjalani kehidupan ini. Aku sungguh mencintainya. "Ji, tugas dari Pak Bram kemarin udah kamu tulis belum?" Aku mengabaikan pertanyaan itu. Hanya terus berjalan sambil berlagak tak mengenalinya. "Ji, woi. Aku nanya kamu. Kamu kenapa, sih? Kamu marah sama aku?" Aku berhenti melangkah. Menoleh menatap sosok pemuda kurus yang aku kenali tapi tak ingin aku ingat namanya. Di hidupku hanya boleh ada Fina seorang, tak ada yang lain. "Siapa kamu?" Pertanyaan balasan dariku membuat sosok ini tersentak. Tiba-tiba saja tawa tertahannya terdengar. "Kamu lagi becanda, ya? Ini aku, Ali. Kamu sama aku, sama Dika udah jadi kawan di kampus sejak setahunan ini. Masa sih kamu lupa?" Aku tak mengindahkan penjelasan itu. Memilih membuang muka seraya membetulkan posisi tas di punggung. "Aku gak kenal kalian semua. Minggir." Tubuh besarku sedikit menyenggol sosok kurus yang hanya mampu bergeming ini. Berhasil membuatnya menyingkir dari jalanku. Setiap sapaan, pertanyaan, senyuman dan panggilan yang orang-orang tujukan padaku hanya perlu aku tak acuhkan. Aku tak mau peduli. Mereka tidak penting. Dalam hidup, aku cuma butuh Fina. Tak ada yang lain. Hanya dia satu-satunya. "Oji!" Suara yang tak asing kembali terdengar menyebut namaku. Dan aku tak berniat menghentikan langkah sekalipun sosok itu sudah berdiri menghadang langkahku. "Oji! Kemarin kenapa nomor kamu gak bisa dihubungi? Padahal Zi masih mau nanyain banyak soal tugas-" "Kamu siapa?" Sosok gadis berkerudung di depanku ini menunjukkan reaksi yang tak jauh berbeda dari si laki-laki kurus yang ketemui sebelumnya. "K-kamu kenapa, Ji? Kamu marah sama Zi?" Aku mendengus tak menanggapi pertanyaan itu. Selekasnya lanjut melangkah melewatinya. Cerpen Sedih Kisah Seorang Psikopat Yang Gila Cinta "Ji? Oji? Zi masih mau ngomong! Ji!" Berhenti berlagak seolah kalian mengenalku dengan baik. Lagi pula, ada apa dengan orang-orang ini? Kenapa mendadak banyak dari mereka yang seolah menguji kesetiaanku pada Fina? Untung saja Fina sudah tak kuliah. Kalau saja dia berada di kampus ini dan memperhatikan segala hal yang aku alami, sudah tentu aku bisa langsung dihabisi olehnya. Ah, kelupaan. Aku 'kan belum sempat membeli ponsel dan juga simcard baru. Jangan sampai Fina mengkhawatirkanku, pun membuatnya berpikiran yang tidak-tidak. Aku harus selalu ada untuknya. Tak boleh sampai menyakiti dan membuatnya kecewa. "Beli hape baru lagi ya, Mas?" Tukang konter langgananku bertanya dengan raut muka tak enak. Mungkin dia bosan melihat aku lagi-lagi membeli ponsel bekas ke tempatnya. Ya. Aku membeli ponsel bekas yang murah. Yang layarnya hitam putih, dengan menu terbatas. Yang tak ada fitur kamera. Yang bukan Android. Yang tak mendukung fitur menginstal aplikasi bahkan tak mampu sekadar mengunduh file. Soalnya Fina kalau mengamuk seringnya menghancurkan ponsel. Jadi, aku cari aman dengan cara menggantinya ke ponsel yang murahan saja. Biar hemat. Selekas mendaftarkan kartu teleponku yang baru. Aku segera saja menghubungi nomor Fina. 'Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.' Aku tersentak. Sekali lagi mencoba menghubungi nomor Fina. Dan jawaban yang terdengar masih sama. Seketika saja perasaanku menjadi tak keruan. Bagaimana ini? Apakah terjadi sesuatu pada Fina? Apa yang sedang dilakukannya? Apakah dia tengah bersama seseorang sampai harus repot-repot mematikan ponsel untuk mengabaikan panggilan dariku? "Ah! Gimana ini? Apa yang harus aku lakuin?" Melihat raut mukaku yang pasti panik, membuat tukang konter bertanya ragu-ragu, "Mas-nya kenapa? Ada masalah?" Aku menekan-nekan keypad ponsel dengan kencang, setelah itu menjawab, "Nomor hape pacar saya nggak aktif, Mas. Dia kenapa, ya? Dia di mana? Saya takut!" "T-tenang, Mas!" Tukang konter ini jadi seolah ketularan panikku. "Mungkin aja hapenya mati, lagi di-cas dulu. Mas tunggu aja. Nanti mungkin akan aktif lagi nomornya. Atau kalau nggak, mas datangin aja rumahnya." Aku mengerling lesu begitu diperdengarkan penuturan tadi. "Rumah siapa, Mas?" tanyaku. "Ya rumah pacar, Mas. Siapa lagi?" Rumah Fina, ya. Benar juga. Aku sebaiknya mendatangi rumahnya saja. Setelah mengambil kembalian dari pembelian ponsel dan kartu, aku langsung melangkah pergi dari konter. Harus segera menemui Fina. Tak tenang kalau aku belum menemuinya. Aku takut dia sedang bersama orang lain. Atau lebih parahnya, dia tengah berada dalam bahaya. Itu tidak bagus. Jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Fina-ku tercinta. Tak berapa lama, aku tiba di rumahku sendiri. Sebab, aku dan Fina sudah tinggal bersama sejak lama. Aku dan dirinya tak bisa terpisahkan meskipun nyawa sebagai taruhannya. Aku membuka pintu rumah yang tak dikunci. Masuk ke dalam, lalu meletakkan tas ke atas sofa. Sesudah itu melangkah menuju ke ruang bawah tanah. Di mana kamar Fina berada. Pintu dari satu-satunya kamar yang ada di ruang bawah ini aku buka. Sedikit demi sedikit membiaskan cahaya ke dalam ruangan yang sempit dan gelap ini, memperlihatkan padaku sesosok gadis ayu yang tengah meringkuk di sudut kamar. Kedua kaki dan tangannya terikat. Mulutnya terbungkam kain. Dan kedua matanya tampak melotot ketakutan begitu melihat kedatanganku. Suaranya yang teredam di balik kain terdengar meronta-ronta. "Fina, Sayang!" Aku berlari menghampirinya. Memberikan Fina pelukan, ciuman, tak lupa membelai setiap inci wajah ayunya yang penuh memar. Luka-luka yang membekas di setiap jengkal kulit tubuhnya aku usap lelmbut, seraya berdecak penuh iba. Sebuah ponsel yang rusak yang berada di dekat tubuh Fina aku ambil, untuk kemudian aku banting ke lantai sampai hancur lebur. "Kamu mau coba cari bantuan lagi, ya? Apa gak cukup aku ada di hidup kamu? Apa gak cukup kita berdua sama-sama saling melengkapi tanpa harus mencari orang lain buat ikut campur, hah?" PLAK! Selesai mengamuk, aku menampar wajah Fina sampai membuatnya tersungkur. Bahunya berguncang. Dia mulai menangis lagi dan lagi. Dan aku menyesal. Tubuh rapuhnya aku peluk. "Maafin aku, Sayang. Maaf. Kamu tau aku ngelakuin ini biar kamu tetap jadi milikku. Aku gak mau kehilangan kamu. Aku takut kamu pergi. Aku nggak mau sampai kamu ngamuk-ngamuk dan marah sambil ngancam buat ninggalin aku kayak beberapa minggu lalu. Please," mohonku lantas melanjutkan, "jadilah sosok Fina seperti yang aku inginkan. Aku cuma butuh itu, Sayang. Ya?" Fina bergeming. Dia tak merespons. Hanya kedua bahunya saja yang masih terasa gemetaran. Aku tersenyum. Mengecup lembut pipi kotornya yang sangat menggemaskan. "Aku cinta kamu, Sayang. Dengan aku, kamu aman." Aku pastikan Fina akan selalu aman bersamaku. Tak butuh orang lain untuk turut hadir dalam kehidupan kami. Karena aku dan Fina bisa saling memiliki saja sudah lebih dari cukup. Cerpen Sedih Kisah Seorang Psikopat Yang Gila Cinta .